Rabu, 03 Agustus 2011

PEMERINTAH HARUS “TEGAS” MENYIKAPI AHMADIYAH


PEMERINTAH HARUS “TEGAS”
MENYIKAPI AHMADIYAH
Oleh Tri Rahayu

Tragedi Monas 1 Juni lalu telah menorehkan duka mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia.  Meskipun kejadian ini bukan pertama kali, namun momentumnya yang berbarengan dengan lahirnya pancasila seolah menjadi bom waktu yang meledak pada saatnya. Tragedi yang sebelumnya terjadi antara Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pun meluas. Indonesia memanas dan terpecah dengan maraknya pro kontra di berbagai daerah. Bukan tidak mungkin kekerasan yang lebih besar akan terjadi apabila akar masalah tidak segera diselesaikan.

Sebagai bangsa yang sangat plural, sudah sepatutnya setiap masyarakat Indonesia menjunjung tinggi nilai kebhinekaan yang telah ada sejak ribuan tahun. Dengan kehidupan bangsa yang begitu majemuk, hidup berdampingan secara damai dan harmonis adalah sebuah keharusan. Perbedaan yang dimiliki adalah kekayaan tak ternilai, bukan penghalang dalam membangun kebersamaan. Namun tentu saja kebersamaan tersebut tidak diciptakan dengan mengorbankan dan meninggalkan prinsip yang kita yakini.

Pun halnya dalam beragama. Kita bebas memilih agama yang kita anggap benar. Namun keyakinan tersebut dibarengi dengan menghormati pemikiran dan pilihan yang diambil orang lain sehingga terciptalah kerukunan. Contoh saja betapa luar biasanya reformis sejati kita, Rasululllah Muhammad SAW, menyatukan penduduk Madinah yang plural, tanpa memaksakan Islam kepada pemeluk agama lain sehingga tercipta masyarakat madani yang menjadi teladan bagi peradaban di muka bumi. Oleh karenanya keharmonisan antara Islam, Kristen, Khatolik, Budha, Hindu ataupun Konghucu harus terus dibina dan dikembangkan di segenap penjuru negeri ini.

Kembali pada tragedi Monas, coba kita kembali telusuri akar masalah penyebab insiden 1 Juni itu. Awal mula permasalahan ternyata memang terkait dengan keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Pro kontra yang tak kunjung selesai tersebut menjadi masalah yang sangat berpotensi terus menyulut kekerasan. Namun sekali lagi patut kita tegaskan, sebenarnya tak pernah ada pelarangan dalam memilih agama. Setiap warga negara Indonesia bebas untuk menentukan pilihannya termasuk dalam beragama.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa FPI dan sebagian besar umat Islam menolak keberadaan Ahmadiyah? Mengapa sampai terjadi kekerasan yang dilakukan FPI pada tanggal 1 Juni kemarin? Sekali lagi, apakah itu salah satu bentuk intervensi dalam memilih agama dan keyakinan?

Secara fitrah, sebenarnya manusia menyukai perdamaian. Tidak ada manusia di bumi ini yang memiliki kecenderungan untuk memilih jalan kekerasan dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Apalagi bila manusia tersebut begitu menjunjung tinggi nilai-nilai luhur agama yang sangat humanis dan universal. Pun halnya FPI sebagai salah satu gerakan yang membawa misi Islam dalam perjuangannya. Saya  yakin, sebagai organisasi Islam, FPI pun memahami itu.

Namun satu hal yang patut kita catat, bahwa di dalam agama -Islam misalnya-, ada prinsip-prinsip dasar yang tidak bisa ditawar, yang harus dijalankan pemeluknya dan dihormati oleh agama lain, yaitu akidah dan keimanan. Bahkan nyawa pun dipertaruhkan demi menjaga dan mempertahankan akidah dan keimanan. Mengakui Nabi Muhammad SAW sebagai rasul dan nabi penutup adalah salah satu akidah dasar yang harus ditaati pemeluk Islam. Oleh karenanya ketika pengikut Ahmadiyah mengakui ada nabi setelah Muhammad sedangkan mereka menyatakan diri Islam maka hal tersebut dianggap sebagai penistaan dan penodaan terhadap Islam.  Pun halnya ketika Mirza Ghulam Ahmad menambahi kata yang ada dalam Al Quran, padahal umat Islam meyakini kitab suci Al Quran dijamin dan dijaga kesuciannya hingga kiamat. Oleh karenanya wajar bila kemudian umat Islam menganggap Ahmadiyah sesat.

Sayangnya keresahan dan kemarahan umat Islam tersebut tidak secepatnya ditanggapi pemerintah dengan memberikan jalan penyelesaian yang tepat. Tidak mengherankan bila lambannya penyikapan pemerintah tersebut akhirnya menyulut terjadinya perpecahan internal umat Islam dan konflik horisontal berkepanjangan, seperti halnya tindakan anarkis yang dilakukan FPI 1 Juni lalu. FPI sendiri sebenarnya hanya satu dari sekian banyak ormas dan umat Islam yang menolak keberadaaan Ahmadiyah di Indonesia. Tapi mungkin memang FPI yang paling vokal dan paling sering bertindak anarkis.

Apabila sebelumnya pemerintah segera menyikapi mungkin kekerasan-kekerasan yang selama ini terjadi tidak akan pernah ada. Memang untuk menyelesaikan kasus berkaitan dengan agama adalah sangat sulit. Perlu pemikiran dan pertimbangan yang matang, mengingat agama adalah hal yang sangat prinsip dan sensitif.  Tapi bukankah pro kontra terkait keberadaaan Ahmadiyah sudah sangat lama terjadi?

Bersyukur, akhirnya Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) meskipun terkesan lamban dan belum memuaskan kedua belah pihak yang bertikai. Ketegasan pemerintah memang sangat ditunggu. Membubarkan Ahmadiyah mungkin memang bukan jalan terbaik, karena keputusan ini pastinya akan tidak memuaskan salah satu pihak dan dapat memicu timbulnya konflik baru.  Namun menurut saya, bagaimanapun pemerintah harus tetap mengambil sikap tegas dengan memberikan 2 pilihan bagi pengikut Ahmadiyah, kembali ke pokok-pokok ajaran Islam atau tetap menjadi Ahmadiyah tetapi tidak lagi menyatakan diri mereka Islam. Ahmadiyah bisa membentuk agama baru, sehingga mereka akan dilindungi secara hukum. Bukankah umat Islam selama ini juga menghormati dan menghargai pemeluk agama lain? Tidak ada paksaan bagi Kristen, Khatolik, Hindu, Budha atau Konghucu untuk ’kembali’ ke Islam.

Tidak ada komentar:

Artikel pada kategori yang sama

Top Post (popular artikel)

Widget by Blogger Buster