Kamis, 03 April 2008

REFLEKSI HARI GURU : ANTARA KUALITAS DAN KESEJAHTERAAN

Semua tentu sepakat apabila aspek pendidikan dijadikan salah satu kunci sukses pembangunan bagi suatu bangsa, karena dari dunia pendidikan-lah lahir sumber daya manusia (SDM) handal dan berkualitas, yang berperan sebagai subjek penggerak pembangunan. Dunia pendidikan akan selalu menjadi salah satu tumpuan keberlanjutan bangsa, kemarin, kini dan di masa depan. Pun halnya di negeri ini. Meskipun dunia pendidikan kita masih terbilang carut marut karena belum ditemukannya formulasi sistem yang tepat, kontribusi dan peran besar pendidikan tetap menjadi salah satu faktor terpenting yang menjadikan bangsa ini tetap eksis (berdiri) di tengah kecamuk tak berkesudahan.
Berbicara pendidikan, tentu tidak terlepas dari peran salah satu unsur pentingnya, yaitu pengajar (guru). Guru menempati posisi penting dan sentral dalam proses pendidikan (pembelajaran). Berhasil tidaknya proses transfer ilmu (kepada anak didik) dalam kegiatan belajar mengajar ditentukan salah satunya oleh guru. Oleh karenanya peran besar guru tersebut harus ditopang dengan kualitas yang mumpuni dari tenaga pengajar (guru) itu sendiri. Guru haruslah sosok yang berkualitas dan mempunyai wawasan luas dengan kemampuan membentuk SDM-SDM yang cerdas, mandiri dan bermoral. Kalau tidak guru akan menjadi pihak yang paling sering disalahkan ketika kondisi pendidikan berada pada posisi yang memprihatinkan (meskipun sebenarnya kesalahan tersebut tidak bisa sepenuhnya kita bebankan kepada guru).
Di Indonesia sendiri, kualitas dan profesionalitas guru memang masih sering dipertanyakan. Bagaimana tidak? Dalam realitasnya profesi guru banyak menjadi alternatif terakhir ketika pekerjaan lain tidak bisa didapatkan. Alhasil profesi yang dipilih dengan tujuan agar tidak menganggur dan mengisi waktu tersebut berimbas besar pada kualitas dan kinerja guru. Toh siapapun, meski bukan lulusan sarjana kependidikan bisa menjadi seorang guru dengan modal sertifikat yang diperoleh di program tambahan akta IV misalnya (di Unila sendiri program ini sudah dihapuskan). Legalitas mengajar yang diperoleh secara instan dengan biaya relatif mahal tersebut bukan tidak mungkin akan banyak dipertanyakan. Benarkah program-program tersebut mampu mencetak tenaga guru yang profesional ? Atau hanya sebuah legalitas formal semata dan sarana bagi sebagian pihak untuk –maaf- ’mencari uang’ ? Bagi saya pribadi, sebenarnya tidak menjadi masalah ketika sarjana-sarjana nonkependidikan mencoba memilih profesi guru. Dalam realitasnya memang banyak dari mereka yang berbakat dan berkeinginan menjadi seorang guru, dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh pada saat kuliah, organisasi ataupun praktek kerja lapangan di masyarakat. Sekali lagi, kualitas yang ditopang dengan wawasan luas serta mampu mencetak pribadi yang mandiri, cerdas dan bermoral-lah yang menjadi syarat utama seorang guru. Selain itu, kemampuan untuk mengkondisikan proses belajar mengajar yang kondusif juga menjadi kunci sukses seorang guru dalam mentransfer ilmu kepada peserta didiknya. Hal-hal penting dan mendasar tersebutlah yang sering luput-atau mungkin sengaja diabaikan sehingga proses belajar mengajar terkadang hanya sebuah rutinitas. Akibatnya SDM-SDM yang tercetak pun menjadi pribadi yang hanya mengejar legalitas ataupun gelar.
Namun tentunya kita tidak boleh hanya menuntut guru untuk terus meningkatkan kualitas dan profesionalisme tanpa memperhatikan kesejahteraannya. Sebagai bagian dari Pegawai Negeri Sipil (meski tidak semua PNS) yang menjalankan tugas mulia pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, tingkat kesejahteraan guru terbilang paling rendah. Tugas maha berat tersebut bisa dibilang kurang mendapat reward (penghargaan) yang sesuai. Persoalan kesejahteraan guru menjadi masalah klasik yang belum terselesaikan dan masih terus diperbincangkan hingga kini. Gelar ’Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’ yang melekat pada guru seolah menjadi sebuah dilematis. Di satu sisi guru dituntut harus memiliki niat tulus ikhlas dan luhur untuk menciptakan manusia-manusia penyambung estafet pembangunan bangsa, namun di sisi lain toh guru juga manusia yang harus terus melanjutkan hidup. Banyak guru tidak bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaannya, karena harus ngobyek sana-sini untuk mempertahankan hidup. Sebagai anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu yang berprofesi guru, saya sangat memahami betapa beratnya tugas dan perjuangan guru dalam mendidik murid-muridnya dan juga menghidupi keluarganya.
Oleh karenanya momentum hari guru yang telah kita peringati beberapa hari yang lalu semoga menjadi saat yang tepat bagi pemerintah untuk terus memberikan perhatian penuh pada profesi guru, baik secara kualitas maupun kesejahteraannya. Sehingga kedepannya profesi guru menjadi profesi yang menjanjikan dan menjadi salah satu alternatif profesi utama, namun tidak sembarangan orang bisa memperolehnya.

Tri ‘Luffy’ ‘ Curup’ Rahayu
Iwari kost, November 2007
Tulisan ini pernah dimuat di surat kabar lokal Lampung’Lampung Post’ (di ‘kolom Debat Mahasiswa’) November 2007...memperingati hari Guru

Tidak ada komentar:

Artikel pada kategori yang sama

Top Post (popular artikel)

Widget by Blogger Buster