Minggu, 19 Juli 2009

Mrs. Sumika Kobayashi ( Domo Arigato Gozaimasu)

Bandarlampung, saat kerinduan membuncah
Dari dulu aku begitu terobsesi memiliki teman atau kenalan orang asing (luar negeri). Aku seperti memperoleh
kepuasan tersendiri, apabila mereka bisa mengerti apa yang aku bicarakan. Oleh karenanya dulu aku pernah bercita-cita menjadi seorang guide (pemandu wisata). Namun letak kota kelahiranku yang lumayan terpencil,
seolah tidak memberiku kesempatan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang asing.

Satu saat, ketika duduk di kelas 2 SMA -kala itu sedang upacara bendera hari Senin- guru Bahasa Inggris kami memperkenalkan seorang wanita yang sangat asing bagi kami. Tubuhnya semampai, ia mengenakan bletzer orange muda yang dipadu dengan rok di bawah lutut berwarna senada. Rambut sebahunya yang kemerahan dibiarkan terurai. Topi cantik putih menghiasi kepalanya. Wajahnya cantik dan ramah. Pak Guru Bahasa Inggris mengatakan wanita cantik itu seorang Jepang yang ingin melihat-lihat sekolah. Ah ya, topi dan kaos kaki selututnya itu yang begitu mencirikan dia seorang Jepang. Aku sering melihat penampilan seperti ini di komik-komik.

Pak Guru Bahasa Inggris lalu meminta si wanita jepang, yang ternyata bernama Mrs. Sumika Kobayashi itu, untuk menyanyi lagu kebangsaan Jepang ‘kimigayo’. Setelah ‘dipaksa’, sambil tersenyum malu, akhirnya si wanita Jepang menyanyi, meskipun hanya sebait. Aku pun langsung ‘jatuh cinta’ padanya. Akhirnya impianku bertemu dan ngobrol dengan orang asing akan segera tercapai he..he...Norak!

Ketika masuk kelas, Pak Guru Bahasa Inggris mengatakan bahwa si wanita Jepang menawarkan diri untuk mengajar les bahasa Jepang di sekolah. Les tersebut terbuka bagi semua siswa yang ingin mengikutinya, dari kelas 1 hingga kelas 3. Bagai mendapat durian runtuh, aku langsung mendaftarkan diri dalam les tersebut, meskipun hanya sedikit saja dari teman sekelas yang tertarik mengikutinya.

Tak disangka pada hari pertama pertemuan kami di les, hampir seratus siswa yang datang, baik dari kelas 1, 2 ataupun kelas 3. Mrs. Sumika begitu berseri melihat animo siswa yang cukup tinggi. Ia pun kembali memperkenalkan diri. Kekagumanku pun bertambah, karena ternyata ia menguasai bahasa Spanyol selain bahasa Inggris. Beliau memang belum lama tinggal di Indonesia. Ia mengikuti suaminya yang bertugas di PLTA Ujan Umas Kepahayiang (Bengkulu). Meski telah bersuami, ia terlihat begitu lucu dan polos. Persis seperti yang kulihat kebanyakan di komik dan film Jepang.

Karena jumlah siswa yang mengikuti les bahasa Jepang cukup banyak, akhirnya kami dibagi per kelompok. Hari-hari les selalu kutunggu. Aku selalu menjadi peserta les yang datang pertama, dengan tujuan agar bisa ngobrol lebih banyak dengannya sebelum les dimulai. Kami pun sering berkomunikasi, meskipun terkadang ga nyambung. Dia memakai bahasa inggris yang dicampur-campur bahasa Indonesia, sedang aku memakai bahasa Indonesia yang dicampur-campur bahasa Inggris. Bahasa inggrisku memang masih sangat cetek. Terkadang kami ketawa-tawa sendiri, karena tidak saling mengetahui apa yang sedang dibicarakan.
Ada banyak hal yang membuatku terkagum-kagum padanya.
1) Mrs. Sumika tak pernah datang terlambat. Sekalipun tak pernah. Bukannya sombong, biasanya memang hanya aku, Mrs. Sumika dan seorang adik tingkat yang juga ikut kursus, sebut saja Reno, yang selalu menjadi orang-orang pertama yang datang. Terkadang salah satu di antara kami yang datang lebih dahulu. Sedang peserta lain sudah terpengaruh budaya ngaret yang mewabah di negeri ini.
Satu saat, ketika menunggu peserta les yang lain datang, ia bertanya padaku,” Kenapa orang-orang Indonesia banyak yang tidak on time ya?”
”Kita di sini memang biasa ngaret, Mrs.” Jawabku dengan sedikit malu.
Ia menatapku bingung, tak paham apa yang aku ucapkan. Sepertinya ia tak mengerti apa itu ‘ngaret’. “Tidak on time like is cultures in here...”, Lanjutku berusaha menjelaskan.
“Oh...seperti ibu-ibu, my neighbours..they always came late, jika ada suatu promise atau acara”. Mrs. Sumika tak mampu menyembunyikan kekagetannya.
“Why? Kenapa seperti itu? Di Japan, we can’t do that..semua Nippon harus disiplin”. Ia bertanya dengan polosnya. Tapi wajahnya sama sekali tidak mengeskspresikan seseorang yang sedang mengejek, lebih tepatnya wajah orang yang sangat bingung.
Aku tak mampu menjawab karena malu setengah mati. Aku hanya mesam mesem sambil menggaruk kepala yang tak gatal.
Ia tersenyum melihatku,”Tidak apa-apa jika kamu can’t explain it in english”. Ah ia ber-khusnudzon padaku. Dipikirnya aku kesulitan menata bahasa dan kekurangan vocab untuk menjawab pertanyaannya.
“So hot ya..look!.. wet..!” Ia mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk lengannya. Tapi apa tadi wet? Apa itu? Ia menangkap kebingunganku.
“Wet...! You don’t know wet?” Ia menjelaskan sambil menunjuk tangan, leher dan hidungnya.
“Oh Mrs. tadi bilang hot ya...mungkin wet itu artinya keringat..he..he..he...”. Ujarku berspekulasi. Itupun setelah hampir 15 menit aku berpikir..ha..ha..
“Ke-ring-gat..?!” Dengan susah payah ia pun lalu mengeja kata keringat. Aku terbahak melihatnya. Ia tampak begitu gembira menemukan kosakata baru bahasa Indonesia. Dicatatnya kata keringat di notebook kecilnya.
Setelah itu ia menatapku sambil berujar ,“ Do you know..kamu selalu on time dan active...I like you..”. Ah pujiannya menerbangkanku...ujub dah!
2) Mrs. Sumika adalah orang yang aneh, tepatnya baik hati ding! Gimana ga? Ia tak memungut biaya les sepeser-pun kepada kami. Ia benar-benar tulus mengajarkan bahasa Jepang kepada kami. Bahkan bahan-bahan les seperti materi dan latihan, ia sendiri yang mem-foto copy tanpa meminta ganti uang kepada kami. Semuanya free. Kalau dibukukan fotocopy-an materi dan latihan itu mungkin akan menjadi buku yang tebal. Bayangkan jika dikalikan +/-100 siswa peserta les? Berapa uang yang ia keluarkan untuk mem-foto copy? Bahan kertas warna warni untuk latihan membuat origami juga ia yang membawa. Jadi kami hanya bermodal ongkos pergi-pulang les dan kemauan untuk belajar sungguh-sungguh. Berbeda sekali dengan orang Indonesia yang perhitungan banget, yah mungkin karena orang Indonesia miskin-miskin ya ^_^.
Begitu baiknya Mrs. Sumika, sampai-sampai satu saat ketika pulang les, ia yang selalu diantar jemput sopirnya, pernah menawarkan diri untuk mengantarku dan beberapa orang teman sampai ke rumah. Padahal rumah kami dengan rumahnya berbeda kecamatan. Rumahnya cukup jauh dari pusat kota, perlu waktu +/- 1 jam untuk sampai di rumahnya, sedang rumah kami cukup ditempuh dalam waktu +/- 15 menit jika naik motor. Mrs. Sumika kasihan melihat kami yang pulang kesorean. Namun kami yang masih punya perasaan dan rasa ga enak tentu saja menolaknya.
3) Mrs. Sumika mengajar dengan metode yang mengasyikkan. Meskipun bahasa Indonesia-nya belepotan, ia selalu berupaya untuk menggunakan bahasa Indonesia ketika mengajar. Sesekali ia membawa laptop untuk memperdengarkan lagu-lagu Jepang pada kami, untuk kemudian kami terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Mrs. Sumika pun meminta kami menyanyikan lagu-lagu Jepang itu, namun anehnya ia tak pernah mau ikut bernyanyi karena malu. Sama malunya ketika kami mengajaknya ber-foto bersama, saat ia mengambil foto kami sebagai kenang-kenangan.
Agar suasana les tak membosankan, ketika belajar, Mrs. Sumika sering menyisipinya dengan diskusi mengenai apapun atau mendengarkan kisah-kisah tentang kami juga tentang Mrs.Sumika sendiri.
Satu saat kami pernah menanyakan umur Mrs. Sumika. Namun ia tak menjawab karena bagi orang Jepang, menanyakan umur kepada seorang wanita adalah tidak sopan. Kami mengangguk2 mendengar penjelasannya. Dari les ini kami pun sedikit2 belajar tentang kultur orang Jepang.
Pernah juga kami menanyakan agama yang ia anut. Kami berpikir ia seorang Shinto yang menyembah matahari, seperti umumnya orang Jepang. Namun ternyata ia telah menjadi Budha, mengikuti agama Mr. Kobayashi, suaminya. Ia pun lalu balik bertanya tentang Islam.
“In Islam ada Koran, right?”
Kami yang semula bingung dengan kata Koran yang ia ucapkan, akhirnya paham, setelah ia mengulangi menyebut Koran sambil menggerakkan tangan membentuk buku.
“Oh Al Qur’an...” Kami berteriak bersamaan sambil ketawa-ketiwi
“Yups....so difficult to say it...” Ia ikutan tertawa,” Semua bisa baca Koran?”
Reno dengan sigap menjawab pertanyaan Mrs. Sumika,”My youngest sister can read Al Quran sejak kecil, ketika berumur 4 tahun...4 years old Mrs.”.
“ Oh Really??! Mrs. Sumika tak bisa menyembunyikan kekagumannya. Inilah yang kami suka darinya. Ia selalu terlihat surprise dan menyukai cerita-cerita kami.
4) Mrs. Sumika pernah mengadakan tea party (pesta teh) untuk kami. Ia ingin menjalin hubungan yang lebih erat sambil mengenalkan masakan Jepang pada kami. Berbagai jenis makanan dan minuman yang sangat asing bagi kami ia suguhkan. Yang namanya kuingat cuma satu ‘sushie’ he..he...Lidah kami sungguh tak terbiasa dengan makanan-makanan asing itu. Tapi hati kami sungguh riang bukan kepalang. Dan lagi-lagi semuanya free...gratis. Rasa haru meliputi dada kami. Apalagi ketika melihat Mrs. Sumika mengeluarkan plastik besar berukuran jumbo yang khusus ia bawa untuk tempat sampah. Kalau makan khan biasanya kita me-nyampah. Ya Allah, betapa mengagumkannya orang Jepang ini. Ia membuatku benar-benar terpesona. Beda banget dengan mentalnya orang-orang di negeri ini. Ia begitu memperhatikan segala sesuatu hingga hal-hal yang terkecil.

Namun tanpa kami duga, tea party ternyata menjadi perpisahan bagi kami. Mrs. Sumika tak pernah lagi muncul di les. Tanpa kabar berita. Padahal pelajaran bahasa Jepang kami belum tuntas. Apalagi kami sudah terlajur sangat menyukainya. Aku pun mencoba bertanya pada Pak Guru Bahasa Inggris yang menjadi teman dekat Mrs. Sumika, namun ia pun tak mengetahuinya. Hingga satu saat kudengar kabar burung dari sahabatku Tina, yang tinggal satu kompleks dengan Mrs. Sumika (ayah Tina juga bekerja di PLTA yang sama dengan Mr. Kobayashi), bahwa kepergian Mrs. Sumika adalah karena ia mendapat peringatan dari duta besar negaranya atas aktivitasnya memberikan les bahasa Jepang pada kami yang dilakukan tanpa izin resmi pemerintah. Ah menurutku itu sebuah alasan yang tak adil baginya, bukankah tugasnya sangat mulia? Kenapa birokrasi menghambatnya? Dan benarkah itu alasan kepergiannya? Tak ada satupun dari kami yang tahu pasti.

Aku benar-benar merindukannya. Pernah satu saat aku meminta Tina mengajakku bermain ke rumah Mrs. Sumika. Namun Tina, sahabat karibku yang protestan itu sungguh kalem dan pemalu. Jadi ia tak mengabulkan permintaanku. Ia sama sekali tak mau mengantarku ke rumah Mrs. Sumika. Malu katanya. Ia hanya menyuruhku menunggu di rumahnya.
“ Sapo (siapa) tau kau beruntung Tri, Mrs. Sumika liwek (lewat) depan siko (sini)”. Ah, keberuntungan itu tak pernah datang. Ia tak pernah lewat.

Sejak saat itu hingga sekarang, aku tidak pernah melihat Mrs. Sumika lagi. Entah dimanakah ia sekarang. Masih di Indonesia, pulang ke Jepang atau berkelana di negara lain. Apakah ia masih mengingat kami, seperti kami yang selalu mengingatnya? Apakah ia merindukan kami, seperti halnya kami sangat merindukannya? Namun sungguh, ia tetap ada di hati kami. Dan aku berharap satu saat nanti, Allah memberiku kesempatan bertemu dengan Mrs. Sumika Kobayashi, nyonya Jepang yang cantik, cerdas, ramah dan baik hati. Dan bila benar-benar bertemu nanti, akan kuucapkan kata-kata yang belum sempat kuungkapkan untuknya,” Domo arigato gozaimasu Mrs...terima kasih yang teramat sangat untukmu!”

Hingga kini, aku tetap terobsesi untuk mencari teman sebanyak-banyaknya dari negara lain, terutama teman-teman dari negara muslim dan teman-teman muallaf dari negara non muslim. Alhamdulilah aku sudah mendapatkannya, meskipun hanya melalui dunia maya. Yah selain sharing tentang Islam dan anything, juga untuk melatih bahasa inggrisku yang belepotan hehe

Tidak ada komentar:

Artikel pada kategori yang sama

Top Post (popular artikel)

Widget by Blogger Buster