Minggu, 19 Juli 2009

MENCARI FILM BERKUALITAS

Satu saat, ketika lagi gemes2nya ama film2 lokal

Sebagai sebuah karya seni, film merupakan cerminan diri dari masyarakatnya, oleh karena itu segala informasi yang berkaitan dengannya perlu dilestarikan. Bahkan ketika saya membuka sebuah situs di internet tentang
perlombaan penulisan essai ”Pelestarian Film Indonesia”, yang diadakan Perpustakaan Nasional RI dan
Sinematek Indonesia, film disebutkan sebagai sebuah dokumen berharga yang menjadi sumber pembelajaran bagi masyarakat. Artinya, film merupakan karya berkualitas yang mengandung pembelajaran tinggi, bukan sekedar karya yang mengedepankan nilai ekonomi (komersil). Jika demikian, betapa luhur nilai yang diemban sebuah film.

Lalu bagaimana dengan film-film Indonesia? Benarkah telah menjadi sumber pembelajaran dan cerminan diri dari masyarakatnya?

Sepanjang sejarah perjalanannya hingga kini, perkembangan film di negeri ini memang telah mengalami masa-masa jaya dan surut. Entah sudah berapa banyak judul film yang dihasilkan oleh para sineas kita, sejak film bisu pertama Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng diproduksi 82 tahun yang lalu. Yang jelas kecenderungan jumlah produksi film dari tahun ke tahun terus meningkat. Puluhan judul film bisa diproduksi setiap tahunnya.

Namun di sini saya tidak akan membahas bagaimana sejarah perkembangan film di Indonesia dari awal diproduksi hingga sekarang, karena saya memang bukan orang yang tepat untuk mengupas itu. Selaku masyarakat awam yang menjadi penikmat film (penonton), saya hanya mencoba untuk bertanya dan menilai bagaimana kondisi perfilman negeri ini, saat ini. Bermuara pada pertanyaan yang telah saya ajukan di atas, apakah film Indonesia telah menjadi sumber pembelajaran dan cerminan diri dari masyarakatnya? Benarkah film mengisahkan realitas yang terjadi di masyarakat?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin akan beragam. Bagi saya pribadi, pertanyaan tersebut akan melahirkan pertanyaan baru. Ada apa dengan film Indonesia? Coba saja kita cek di internet atau bisokop 21 di daerah ini, film apa saja yang akan diputar
atau yang segera beredar. Kemungkinan sebagian besar temanya tidak akan jauh-jauh dari horor lokal dan percintaan remaja yang cenderung semu, ataupun komedi yang mengumbar sensualitas. Inikah wajah perfilman kita? Inikah realitas masyarakat kita? Benarkah negeri ini hanya berkutat pada persoalan cinta remaja dan horor, sehingga melulu dua tema itu yang diangkat.

Saya pribadi, hingga kini belum mengerti kenapa misalnya film horor menjadi pilihan yang begitu populis. Dalam film horor lokal saya cenderung melihat adanya pencampurbauran antara unsur magis/ mistik dengan ajaran agama sehingga batas antara keduanya menjadi tidak jelas. Agama hanya dijadikan alat untuk mengusir setan. Padahal nilai agama tidak sedangkal itu. Mohon maaf, sungguh saya sangat penasaran, sebenarnya nilai moral apa yang dapat dijadikan pembelajaran dari film-film seperti ini, selain memacu adrenalin sesaat dan mengajarkan kita untuk syirik.

Kisah percintaan yang mendominasi perfilman tanah air pun lebih banyak mengangkat kisah percintaan semu remaja. Aktor dan aktris pun sengaja dipilih sangat rupawan dan tak sedikit dari mereka yang bertampang indo. Penonton seolah diajak melayang ke awan sesaat. Mohon maaf, jika saya menilainya kurang realistis dan tidak membumi.

Melihat film Indonesia, saya seperti bercermin pada film produksi Bollywood. Setelah banyak menonton film India, terbangun citra di pikiran saya bagaimana itu negara India. Meskipun belum pernah ke India saya menggambarkan India sebagai negara yang (mohon maaf) para pejabat pemerintahnya termasuk aparat kepolisian sering berbuat tidak adil atau bertindak terlambat, banyak unsur dendam, pembunuhan menjadi biasa, tuan tanah adalah penjahat. Atau secara fisik, saya melihat orang India berkulit putih dan memiliki rumah bak istana. Padahal dalam kenyataannya India tidak sepenuhnya seperti itu.

Kondisi yang sama mungkin saja dialami Indonesia. Citra Indonesia bisa dipertaruhkan oleh sebuah film. Bukankah ada pendapat yang menyatakan bahwa film menggambarkan budaya masyarakat setempat? Apa benar budaya kita hanya berkaitan dengan mistis dan percintaan saja? Begitu banyak permasalahan di negeri ini yang dapat dieksplorasi menjadi banyak film.

Mungkin kita dapat belajar bagaimana membuat film berkualitas pada negara seperti Iran dan Afganishtan (tidak usah jauh-jauh bercermin pada Hollywood). Iran pernah membuat film yang mencapai sukses di dunia internasional, salah satunya Children Of Heaven. Film yang sarat makna, dengan mengusung nilai-nilai budaya dan agama. Saya saja sampai menangis menyaksikannya. Bahkan cuplikan tayangan film ini, seperti menjadi tontonan wajib dalam sebuah materi pelatihan motivasi oleh seorang trainer dari lembaga training yang cukup terkemuka di negeri ini.

Atau The Kite Runner, film bertema persabahatan, kasih sayang, persaudaraan dan pengkhianatan berlatar belakang budaya Afganishtan yang nangkring selama dua tahun di new york times. Meskipun diproduksi oleh Amerika, namun film tersebut merupakan buah karya asli warga Afganishtan.

Saya sangat bersyukur masih ada Kiamat Sudah Dekat, Naga Bonar Jadi 2, Mengejar Matahari, Gie, Issue, Get Married, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, Garuda di Dadaku, King (dan mungkin sejumlah film yang lain). Tema yang diusung mampu mengangkat nilai-nilai pembelajaran yang positif bagi penontonnya, namun tetap menghibur. Beberapa film bahkan mencetak rekor fantastis dari segi jumlah penonton. Ternyata masih banyak masyarakat mau menonton film yang mendidik dan menceritakan kehidupan masyarakat yang seutuhnya

Mohon maaf, bukan bermaksud mengesampingkan film lain, namun beberapa film lokal tersebut-lah yang membuat saya tergugah karena ada nilai-nilai yang dapat saya renungkan pasca menontonnya. Seorang sineas pernah menyatakan bahwa sebuah film dapat dikatakan berkualitas jika film itu masih saja direnungkan oleh penontonnya bahkan sampai terbawa hingga mimpinya

Ke depannya, sebagai salah satu penikmat film yang sebenarnya kurang kompeten dalam mengkritisi kondisi perfilman Indonesia, saya berharap agar para sineas kita dapat membuat film yang lebih variatif, bukan melulu perulangan (suka ngekor) dan mengangkat permasalahan dari berbagai lapisan, berbagai perspektif, berbagai situasi dan kondisi. Tidak lupa juga semoga para sineas kembali melirik film anak, seperti yang dituntut para anak dan orang tua pada Hari Film nasional ke-58, 30 Maret 2007 yang lalu. Anak-anak juga membutuhkan film berkualitas yang sesuai dengan umur mereka. Semoga kembali muncul Petualangan Sherina, Petualangan 100 Jam, Joshua Oh Joshua, Denias : Senandung di Atas Awan yang lain.
Mohon maaf, bukan bermaksud tidak menghargai kerja keras yang telah dibuat para sineas kita dalam membuat film selama ini. Nilai komersial yang akan didatangkan oleh sebuah film jangan lantas membuat para sineas menjadi miskin ide dan kreativitas. Toh kita juga tidak ingin menjadi negara kapitalis liberal.
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI, Jero Wacik, sendiri telah menekankan agar para produser lokal tidak melulu menggunakan perhitungan ekonomi, tetapi juga perhitungan kenegarawanan. Upaya Menteri tersebut dibarengi dengan upaya melogikakan pelaku perbankan untuk lebih mudah memberikan pinjaman ke sektor industri film dengan bunga yang tidak terlalu besar (www.kompas.com, Senin 31 Maret 2008)
Semoga para sineas kita tidak pernah berhenti mempersembahkan karya terbaik untuk bangsa demi kebangkitan perfilman di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Artikel pada kategori yang sama

Top Post (popular artikel)

Widget by Blogger Buster