Rabu, 15 April 2009

MENGGUGAT TAYANGAN MEDIA TELEVISI (SWASTA) DI INDONESIA

Terus terang saya benar-benar miris menyaksikan wajah dunia pertelevisian kita-terutama swasta- saat ini. Tayangan-tayangan yang disuguhkan sungguh tidak mendidik. Kalaupun ada, jika dipersenkan mungkin
hanya nol koma sekian persen. Saya ’semakin geram’ dengan berbagai suguhan yang terus mereka tayangkan. Negeri yang dulu diagung-agungkan sebagai negeri yang sangat religius dan menjunjung tinggi nilai ketimuran, namun dari tayangan anak-anak, remaja sampai religius banyak yang keluar dari nilai-nilai ke-Timur-an ataupun agama, sehingga tergelitiklah hati ini ingin menyampaikan gugatan kepada pertelevisian di Indonesia lewat media ini.

Patut kembali kita tekankan bersama, bahwa dengan kemampuan audio visualnya (dapat didengar dan dilihat), media televisi mempunyai andil besar dalam membentuk ’karakter’ seseorang. Bagaimana tidak? Di era kemajuan teknologi seperti saat ini, televisi bukan lagi barang langka. Hampir setiap rumah memiliki televisi, oleh karenanya setiap program televisi hampir semuanya dapat diakses oleh puluhan bahkan ratusan juta manusia Indonesia. Masyarakat pemirsa televisi tinggal memilih. Dan akhirnya televisi menjadi pilihan hiburan yang paling populis.

Namun sayang, kemampuan dan nilai lebih yang dimiliki media televisi belum-tidak dicoba untuk-dimanfaatkan secara optimal sebagai sarana pembantu pemerintah dalam menyampaikan pesan-pesan moral yang realistis dan membumi. Peran televisi yang saya lihat saat ini hanya sampai pada ’menyuguhkan tayangan yang mampu mendongkrak rating penonton’. Jelas, sebuah tujuan yang hanya mengedepankan keuntungan, sangat komersil dan berbau kapitalis murni. Tengok saja berbagai suguhan (meskipun tidak semua) yang ditawarkan oleh sebagian besar media televisi (swasta) di negeri ini.

Sinetron anak-anak di Indonesia banyak yang menonjolkan unsur dengki, dendam, fitnah dan kekerasan. Bagaimana kisah penyiksaan seorang anak terhadap saudara tiri, atau cerita seorang anak yang menjahili dan memfitnah teman sekolahnya dan tindakan-tindakan lain yang tidak pantas dan tidak seharusnya dilakukan seorang anak. Tidak hanya itu anak-anak Indonesia diajak berkhayal memiliki peri yang bisa memberikan apapun yang mereka minta. Atau seorang anak yang memiliki benda/senjata pengabul keinginan. Wajar bila akhirnya banyak terbentuk anak Indonesia yang menyukai permusuhan, kekerasan dan suka berkhayal.

Bagaimana dengan sinetron remaja/ dewasa? Tidak sedikit adegan-adegan dalam sinetron remaja ataupun dewasa yang memperlihatkan remaja /dewasa sedang berciuman, berpakaian mini (baik seragam sekolah ataupun keseharian) dan juga belajar masuk diskotek sebagai bukti usia yang menginjak dewasa. Unsur dengki, fitnah, balas dendam, perebutan warisan dan kekerasan berbau kriminal juga menjadi suguhan wajib dalam setiap episodenya. Atau juga tema-tema horor yang lagi nge-trend dalam dunia perfilman di Indonesia, yang hingga kini tidak saya ketahui manfaatnya selain mendorong penonton dan pemainnya untuk mempercayai dukun/paranormal.
Jadi jangan heran bila banyak remaja/orang-orang Indonesia terbiasa berpakaian mini, terjerat pergaulan bebas ataupun menyukai kekerasan...dan percaya dukun.

Begitu pun halnya dengan sinetron religius. Banyak sekali sinetron religius malah mengkaburkan akidah umat. Unsur mistik dan magis dicampurbaurkan dengan ajaran agama sehingga batas antara keduanya menjadi sangat tidak jelas. Agama juga hanya dijadikan alat untuk mengusir setan. Padahal nilai-nilai yang dibawa agama tidaklah sedangkal itu. Makanya jangan protes, bila akhirnya terbentuk umat yang tidak bisa lagi membedakan mana yang syirik dan yang bukan, percaya takhayul ataupun menggunakan nilai agama hanya sebatas untuk mengusir setan. Na’udzubillahi Min Zalik…

Dan lebih miris lagi, biasanya dalam setiap sinetron baik anak, remaja/dewasa, ataupun religius, orang baik digambarkan sebagai kaum tertindas yang selalu saja diinjak-injak tanpa perlawanan, selalu menderita, disiksa hanya bisa menangis, berdoa (tanpa usaha) dan pasrah menerima nasib, tidak cerdas, mudah dikelabui dan miskin ide. Pokonya susah menjadi orang baik. Sedangkan orang jahat digambarkan sebaliknya, orang yang cerdas, penuh perhitungan, pantang menyerah dan selalu menghasilkan ide-ide cemerlang (walaupun konteksnya untuk kejahatan), selain karakter jahat yang selalu mengiringinya. Karakter jahat dan baik yang ditonjolkan juga cenderung berlebihan (bukan seperti karakter manusia, tepatnya mendekati atau sama dengan karakter malaikat dan setan). Lagi-lagi sinteron membawa kita ke dunia mimpi yang sama sekali tak membumi (tidak sesuai dengan realitas di masyarakat).

Belum lagi program infotainment yang tayang setiap hari. Kita tidak akan mendapat kesulitan berarti untuk mencari program ini di setiap channel televisi. Dari pagi, siang, sore sampai malam pasti ada tayangan ini. Sebenarnya juga tidak masalah ketika berita yang ditayangkan adalah berita-berita postif. Sayangnya kita akan sedikit kesulitan mencari berita positif dalam tayangan sebuah infotainment. Berita perselingkuhan, perceraian, pertikaian, pergaulan bebas, atau berita seorang artis yang meminta diramal lebih mendominasi karena nilai jualnya yang lebih tinggi. Tidak heran bila banyak masyarakat menjadi jengah dengan tingkah laku selebritis kita.

Program-program kuis juga tidak bisa dipungkiri membentuk mental-mental yang ‘maunya’ kaya mendadak tanpa harus melewati perjuangan keras. Tidak masalah jika dengan kuis-kuis tersebut, peserta menjadi terhibur dan pengetahuan mereka terasah. Namun sayangnya jika kita amati lebih dalam ternyata tidak sedikit program kuis di televisi, menawarkan permainan yang tidak jelas dan bahkan mengarah ke judi.
Tidak sampai di situ, suguhan-suguhan berita kriminal juga ikut memberikan kontribusi besar bagi bobroknya moral umat di negeri ini. Tayangan berita kejahatan kriminal ada di setiap stasiun televisi swasta dari pagi sampai malam dengan jam tayang yang berbeda. Tidak salah memang, ketika dampak positif yang ditimbulkan lebih besar daripada dampak negatifnya. Dan kenyataan memang berkata lain, perbuatan kriminal/kekerasan menjadi terbiasa didengar telinga. Anak membunuh ayah kandung atau sebaliknya, ayah memperkosa ibu, istri bunuh suami atau sebaliknya, anak gantung diri karena permasalahan sepele, maling dibakar massa ataupun berita-berita kriminal lain yang seharusnya membuat kita bergidik, menjadi perbuatan biasa yang disuguhkan televisi. Tidak heran bila perbuatan kriminal semakin meningkat.

Sejatinya sebagai sebuah media, televisi seharusnya mempunyai tanggung jawab besar dalam mendidik dan membangun moral di negeri ini. Dengan kemampuan audio-visualnya (bisa dlihat dan didengar), televisi seharusnya menjadi media paling ampuh dalam menyampaikan pesan-pesan moral kepada para pemirsanya, bukan malah turut andil menyumbang bobroknya moral di negeri ini.
Terima kasih atas dimuatnya tulisan ini.

Tidak ada komentar:

Artikel pada kategori yang sama

Top Post (popular artikel)

Widget by Blogger Buster