Minggu, 19 Juli 2009

CURHAT IDUL FITRI

Bandarlampung, Suatu Malam yang Hening, pasca Ideul Fitri tahun lalu (2008)

Mudik menjelang lebaran Idul Fitri merupakan momen yang selalu kami (aku dan adikku) tunggu setiap tahunnya. Kerinduan pada keluarga dan kota halaman tercinta begitu membuncah di dada. Sayangnya karena
berbagai urusan yang harus diselesaikan, seperti biasanya di tahun ini kami baru bisa mudik H-3 menjelang lebaran.

Ketika sampai di rumah mungil yang menjadi surga bagi kami sekeluarga ( di Curup-Bengkulu), tak terkata betapa haru menguasai diri. Apalagi ketika mama’ tercinta mencium dan memeluk kami dengan eratnya. Bapak tak lepas memandang kami dengan wajahnya yang mulai menua. Kakak dan adik tomboy-ku pun melampiaskan kerinduan dengan caranya sendiri, tertawa-tawa sambil menanyakan oleh-oleh yang kami bawa.

Baru beberapa menit kami melampiaskan kerinduan juga lelah selama perjalanan, Mama’ langsung bercerita.

”Cubo balik kemarin, kakek-mu kemarin ke siko (sini)”.

Kami tersentak. Kakek yang hanya kami sekeluarga kunjungi pada hari raya saja itu, mengunjungi rumah?

”Iya..Trus Mama’ mandikan, potong kukunyo, pakaikan baju koko putih jugo celano panjang hitam dan sarung kotak-kotak”. Mama’ melanjutkan cerita dengan penuh semangat.

Ya, aku tahu.Meskipun Mama’ amat sangat jarang mengunjungi Bapak kandungnya itu, namun, beliau masih amat sayang pada Kakek.

”Trus kek (sama) Bapak kau, kakek diajak ke salon, naik motor. Kakek potong rambut biar rapi. Tapi lucunyo, abis tu kakek lupo siapo yang ngantarnyo potong rambut..hehehe...Bapak kalian langsung bilang ”yo itu aku, mantumu, ’Pak”!”..hehhhee. Bahkan Mama’ dipikirnyo lah (sudah) pensiun..hehehee”. Mama’ melanjutkan cerita sambil terkekeh.

Ada kelucuan dan keharuan di hatiku. Sebersit pertanyaan menggelayut. Apakah kakek sudah terlalu renta dan rabun hingga tak mengenali anak dan menantunya sendiri, ataukah karena kami teramat sangat jarang mengunjunginya hingga ia lupa pada wajah kami.

Miris....Silih berganti ku tatap wajah Mama’ dan Bapak. Kupandangi mereka lekat. Sebuah janji kuikrarkan dalam hati. Aku tak akan pernah membuat mereka lupa akan wajahku meskipun mereka telah senja nanti. Aku ingin selalu berada di samping mereka..

Cerita kakek terus berlanjut hingga aku dan dua adikku mengunjungi beliau di hari lebaran. Sedikitpun beliau tidak ingat pada kami. Padahal dulu ketika aku masih kecil, kami sekeluarga tinggal bersama kakek. Bahkan dulu kakek teramat sering mengomeli kami, memukul kami dengan sendal, atau menyiram kami dengan air sumur sebagai sebuah hukuman atas kenakalan kami.

Dan benar seperti kata orang, bahwa ketika tua, seseorang akan kembali seperti anak kecil, baik wajah dan sifatnya. Begitupun kakek. Beliau cerita sambil tertawa, meskipun kami tidak mengerti apa yang beliau ceritakan. Belum selesai Kakek bercerita, muncullah nenek tiriku dari arah kamar mandi sambil berjalan memegang dinding. Gumaman ”eeee”-nya terdengar jelas. Beliau terlihat lebih renta dari kakek. Badannya ringkih dan tak sanggup lagi berjalan tanpa bantuan dinding.

Aku tersayat. Tak bisa kubayangkan dua makhluk yang telah renta tersebut, hanya tinggal berdua di rumah. Bagaimana kalau malam hari ada orang jahat yang datang? Apa-lah yang bisa mereka lakukan dengan kondisi fisik yang jauh dari kesan sehat dan kuat itu.
Sebuah janji kembali kuikrarkan dalam hati, aku akan merawat Mama’ dan Bapak dengan segenap jiwaku hingga maut memisahkan kami.
Dan cerita kakek terus berlanjut hingga kami mengunjungi uwak-uwak kami yang merupakan kakak dan ayuk dari Mama’, anak-anak kakek yang lain. Keluhan-keluhan pada pihak keluarga nenek tiri, mereka keluarkan.

”Lha anaknyo nenek, mano ado yang ndak (mau) mengurus nenek. Giliran harto kakek lah (sudah) abis mereka kuras, mereka dak pernah datang untuk merawat nenek, apalagi merawat kakek. Biarkan bae-lah (saja-lah), yang wajib kito urus itu kakek, urusan nenek bukan kewajiban kito. Lagian kerjonyo nenek cuma ngambil duit dan makanan kakek”. Begitulah kira-kira uneg-uneg yang mereka keluarkan.

Aku diam. Entah perasaan apa yang muncul di hati. Di satu sisi mungkin benar apa yang uwak-uwak kami katakan, tapi di sisi lain, biar bagaimanapun nenek adalah orang tua yang butuh belas kasihan seluruh keluarga besar kami, meskipun beliau hanya nenek tiri. Agama pun mengajarkan itu. Namun sebagai pihak yang tidak tahu menahu, aku tak bisa berkata apa-apa, selain empat kata ”. Tapi kasihan juga nenek”.

Realitas lebih memprihatinkan aku temui di tetangga rumah. Di sebelah kiri, selang 1 rumah, kami memiliki tetangga (sebuah keluarga kecil dengan 2 anak) yang mempunyai hubungan lebih buruk dengan ibu kandung pihak lelaki. Sang ibu sudah sangat renta. Beliah tinggal berdempetan dengan rumah inti. Gubuk kecil itu dibangun khusus oleh anak laki-lakinya. Sekalipun, tak pernah lagi si ibu menginjakkan kaki ke rumah anaknya itu. Ternyata, Semua dipicu oleh konflik antara si ibu dengan sang menantu. Mereka pun tak pernah lagi bertegur sapa. Bahkan dua anak yang merupakan cucu si ibu, tak diizinkan oleh ibunya untuk menjenguk sang nenek di gubuk kecil yang hanya berbatasan dinding. Dan sepertinya sang suami yang merupakan anak dari si nenek itu hanya manut-manut saja pada si istri.
Sayang sekali, moment idul fitri-pun tak dimanfaatkan untuk saling mengkoreksi diri dan saling memaafkan.

Setiap pagi dan sore, aku melihat si nenek yang sudah membungkuk badannya itu, menenteng ember untuk meminta air kepada tetangga sebelah kanan kami. Beliau terpaksa melakukannya karena pintu kamar mandi anaknya sendiri, selalu dikunci oleh menantunya. Bapak dan Mama’ yang kasihan melihatnya sebenarnya telah menawarkan untuk mengambil air di rumah kami, namun sepertinya beliau tak enak karena kami menggunakan sanyo. Beliau lebih nyaman meminta ke tetangga yang masih menggunakan sumur. Bisa kubayangkan betapa besar tenaga yang harus beliau keluarkan untuk menimba dan mengangkut air untuk jarak berpuluh langkah dengan kondisi fisik yang sudah renta seperti itu.

Satu waktu, di hari ke-5 lebaran, aku bertanya pada cucu terkecil si nenek yang setiap hari bermain ke rumah kami.

”Mbah Minah (nama si nenek) itu mbahnyo Echa (nama si bocah) yo?”

Si bocah chubby yang baru berusia +/- 3 tahun itu menjawab dengan lugas, ” Bukan. Mbah Minah itu mbah-nya Opan!”

Aku tersentak. Opan adalah nama anak tetangga tempat si nenek meminta air.

”Kecek (kata) sapo ’Cha bukan mbahmu?” Aku kembali melontarkan pertanyaan karena saking tak percaya-nya dengan jawaban si bocah.

”Kecek (kata) Mama’!”

Ya Allah. Aku mengurut dada. Bocah kecil ini pun ikut kena imbas konflik antara ibu dan mertua. Di tengah keprihatinanku, sebuah SMS dari nomor tak dikenal masuk.

Rasulullah bersabda : “Kembalilah kepada kedua orang tuamu dan perlakukan mereka berdua hingga tertawa gembira sebagaimana kamu telah membuat meraka menangis”.( HR An Nasa’i)

Subhanallah. SMS tersebut sungguh mengena. Entah siapa yang mengirim, mungkin temanku yang baru berganti nomor, namun yang jelas SMS Hadist tersebut sungguh datang di saat yang tepat. Andai Echa telah bisa berpikir, ingin rasanya kutunjukkan SMS itu padanya. Atau andai aku memiliki sedikit keberanian ingin sekali kutunjukkan hadist itu pada pada anak dan menantu si nenek. Atau juga kutunjukkan ayat-ayat Quran tentang kewajiban berbakti seorang anak terhadap orang tuanya.

Yah, aku mungkin tidak tahu siapa yang salah dan benar dalam konflik mereka. Namun seberat apapun, tidak ada kata cerai antara anak dan orang tua. Bukankah Allah telah berfirman bahwa meskipun orang tua kafir, seorang anak tetap harus menghormati dan merawat orang tuanya.

Ah, entah ego semacam apa yang dapat menciptakan jurang permanen antara anak dan orang tuanya? Pertanyaan itu pun mengusik hatiku. Betapa banyak anak-anak di dunia ini yang melupakan orang tuanya, dan berubah menjadi Malin Kundang. Bahkan tak sedikit anak yang membunuh orang tuanya atau sebaliknya.

Dan ketika aku asyik dengan lamunan-ku. Bapak datang menghampiriku dan meminta sesuatu yang membuatku terenyuh.

“Yuk..tuliskan Bapak niat dan doa sholat tahajud yo. Kecek (kata) orang doa waktu sholat tahajud akan dikabulkan Allah. Dan Bapak idak bisa kasih apo-apo ke kau selain doa semoga kau bisa sukses”.

“Oke Pak! Tenang bae (saja), nanti Yayuk (panggilanku di rumah) tuliskan”. Aku menjawab dengan gaya cengegesan-ku, meski sebenarnya di dalam hati aku menangis haru. Teriris rasanya melihat ketulusan Bapak.

Ya Allah, betapaku sangat mencintai orang tua-ku. Berilah aku kesempatan untuk membahagiakan orang tuaku. Jangan biarkan aku ‘melupakan’ mereka meskipun hanya sebentar.. Namun tetaplah jaga hati-ku, agar kecintaan-ku pada orang tua-ku tidak melebihi kecintaan-ku pada-Mu. Amin!

Tepat jam 12 malam, memasuki hari ke-6 lebaran, sebuah SMS dari adikku masuk.
“Ya Allah Yang Maha Pembolak-balik Hati, teguhkanlah saudariku ini dalam agamaMu, jadikanlah umur yang paling baik adalah ujungnya. Amalnya yang paling baik adalah akhirnya, dan harinya yang terbaik adalah hari bertemu denganMu di akhirat. Allahumma Amin...Met Hari Lahir yo Yuk. Semoga bisa membahagiakan Mama’ dan Bapak dan seluruh keluarga. Amin”.

Aku pun terisak di heningnya malam. Amin ya Robb....................

Tidak ada komentar:

Artikel pada kategori yang sama

Top Post (popular artikel)

Widget by Blogger Buster